Wednesday

Sikap Kapolri Tepat, Jangan Mau Jadi Alat Politik Pansus Angket

Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Ketua KPK Agus Rahardjo (Foto: Agung Pambudhy/detikcom)

Jakarta - Sikap Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang menolak bila panitia khusus (pansus) angket terhadap KPK memintanya menjemput paksa Miryam S Haryani disebut sudah benar secara hukum. Sebab, bila permintaan itu dipenuhi, maka sama saja dengan menjadikan kepolisian sebagai alat politik.

"Kita harus pisahkan antara penyelesaian hukum dan non hukum. Kalau penyelesaian hukum itu namanya jemput paksa itu bagian dari upaya paksa itu ada penangkapan ada penahanan, itu terkait kepentingan peradilan. Nah kalau MD3 itu kan kepentingan politik, pertanyaannya? Apakah fungsi polisi bisa untuk kepentingan politik? Ini harus ada batasan hukum, antara politik dengan sistem peradilan pidana," kata Guru Besar Hukum Pidana Prof Hibnu Nugroho ketika dihubungi, Rabu (21/6/2017).

"Ini seandainya kapolri menuruti hak angket, ini menjadi tidak baik, karena subjek pemohonnya masih debatable. Polisi malah dijadikan alat politik," sambung Hibnu.

Hibnu pun menyarankan agar pansus angket cukup bersabar saja. Menurutnya, saat ini perkara Miryam segera disidangkan. Nantinya, semua hal akan terungkap dalam persidangan.

"Mbok sabar saja. Sebentar lagi masuk pengadilan, dengarkan saja," ucap Hibnu.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan pemanggilan seseorang ke pansus sudah sesuai dengan norma hukum. Bila saja Miryam berhasil dihadirkan di pansus, yang ditanyakan adalah soal kebenaran Miryam ditekan sejumlah anggota DPR dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.

Soal materi penyidikan, bila tak boleh diumbar ke Pansus, berarti tak perlu diumbar. "Ini kan bukan menyangkut materi secara langsung. Ini menyangkut yang diminta itu diklarifikasi dulu," kata Fadli.

Sementara itu, Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menjelaskan sikap Kapolri yang menolak permintaan DPR memanggil paksa Miryan. Sikap Kapolri adalah bentuk ketaatan pada pedoman kepolisian dalam menegakan hukum yaitu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dari kacamata Polri, Pasal 204 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang membahas panitia angket dapat meminta bantuan Polri untuk memamggil paksa seseorang, tidak ada sinkronisasinya dalam KUHAP.

"Undang-undang MD3 tidak ada mengatur hukum acara bagaimana membawa seseorang secara paksa. Kalau perintah membawa itu dalam kepolisian artinya sudah upaya paksa penangkapan dan itu harusnya pro justicia, harus maju sampai tingkat pengadilan," jelas Setyo kepada detikcom ketika dihubungi, Selasa (20/6/2017) pagi.

Berikut bunyi Pasal 204 UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 soal Hak Angket:

Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sementara itu pasal 18 KUHAP, jelas Setyo, mengatur prosedur jemput paksa seseorang oleh kepolisian. Di situ ditegaskan bahwa upaya jemput paksa harus disertai bukti permulaan atau dua alat bukti yang mumpuni untuk menunjukkan target jemput paksa melakukan kejahatan.

"Belum ada yang mengatur hukum acara untuk membawa, misalnya Miryam. Kita tidak mau membawa Miryam karena dia tidak dibawa ke pro justitia oleh DPR. Yang bawa dia (ke proses hukum peradilan, red) kan KPK. (Syarat melakukan penjemputan paksa, red) Memenuhi unsur melakukan kejahatan misalnya dua alat bukti yang sah, kemudian keterangan saksi-saksi yang lengkap," terang Setyo.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(dhn/fjp)

Sumber : Detik.com